Aceh dan Syariat Peduli Lingkungan
Oleh: Anugrah Roby Syahputra
Agama samawi (monoteis) seringkali dikritik sebagai keyakinan yang kurang memiliki kepekaan terhadap alam dan lingkungan hidup. Penyebabnya, dalam ajaran agama monoteis, manusia diposisikan lebih unggul daripada alam. Manusia adalah subjek, sementara alam adalah objek yang pasif. Superioritas manusia itu ditegaskan dengan konsep imago dei (manusia sebagai citra Tuhan) dalam ajaran Kristen dan Yahudi serta konsep khalifah fil ardh dalam Islam. Doktrin inilah yang sering dijadikan legitimasi bagi manusia untuk melakukan segala bentuk tindakan terhadap alam, termasuk mengeksploitasinya tanpa batas. Akan tetapi, benarkah konsep khalifah fil ardh adalah stempel bagi kaum muslimin untuk memperlakukan alam seenak perutnya? Bagaimanakah sebenarnya Islam memandang relasi manusia dan alam?
Kewajiban Syariat Menjaga Lingkungan
Dalam kitab suci Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyampaikan banyak ayat yang menunjukkan pentingnya menjaga lingkungan hidup. Bahkan, dalam beberapa ayat lainnya Allah SWT secara terang menegaskan larangan melakukan kerusakan di muka bumi sebagaimana tercantum dalam Surat Al-Qashas ayat 77, “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Sementara dalam Surat Al Baqarah ayat 30 yang menjelaskan definisi khalifah fil ardh, para mufassir (ahli tafsir) sepakat bahwa Allah memberikan amanah untuk menjaga bumi. Artinya, ini adalah sebuah kewajiban untuk setiap orang beriman untuk mengelola lingkungan tanpa merusaknya. Kita memang membutuhkan alam untuk menyambung hidup, namun cara pemanfaatannya tentulah tidak harus berlebihan. Sebisa mungkin kita juga melakukan penyiapan Sumber Daya Alam pelanjut ketika kita mengeruk sebagian dari alam. Misalnya dengan melakukan replantasi dan reboisasi hutan.
Sahabat Nabi Abu Darda ra. menceritakan bahwa dalam suatu majelis ilmu yang diasul ooleh Rasulullah SAW, telah diajarkan tentang pentingnya bercocok tanam, menanam pohon dan urgensi mengubah lahan tandus menjadi tanah subur yang produktif. Perbuatan tersebut akan mendatangkan pahala yang besar dari sisi Allah dan bekerja memelihara lingkungan adalah termasuk ibadah kepada Allah SWT.
Dalam kesempatan lain Sang Nabi yang mulia bersabda, “Barangsiapa yang memotong pohon sidrah maka Allah akan meluruskan kepalanya tepat ke dalam neraka.” (HR. Abu Daud, dalam Sunan-nya). Riwayat lain oleh Muslim menjelaskan bahwa Rasulullah juga pernah mengancam bahwa barangsiapa yang membunuh burung pipit atau binatang lain yang lebih besar daripadanya tanpa ada kepentingan yang jelas, maka kelak Allah akan memintai pertanggungjawabannnya. Ini sebuah seruan dari lisan Al Amin agar melakukan penghijauan dan melestarikan kekayaan hayati dan hewani.
Semua perintah dan larangan ini sesungguhnya ditujukan agar terciptanya keseimbangan ekosistem. Sebab lingkungan hidup adalah suatu kesatuan integral antara semua benda, daya, keadaan dan mahluk hidup termasuk manusia. Jika manusia berperilaku merusak, maka ekosistem akan menjadi labil dan mengancam kelangsungan hidup setiap komponen di dalamnya. Itulah sebabnya ajaran ini sebenarnya sangat humanis, peduli terhadap manusia namun juga tak melupakan alam untuk dijaga. Jadi, Islam adalah agama yang ramah lingkungan dan mewajibkan merawatnya dengan seafdhal-afdhal cara. Keliru besar orang yang menjadikan Islam sebagai cap untuk membenarkan tindakannya mengeksploitasi alam.
Aceh dan Lingkungan yang Tercancam
Aceh dikenal sebagai tanah serambi mekkah. Kehidupannya kental dengan nuansa Islam yang damai. Sejak dahulu, rakyat Aceh sudah memegang teguh Islam sebagai pegangan hidup. Sebuah hadih maja yang terkenal mengatakan bahwa agama ngon adat lagee zat ngon sifeut. Ajaran Islam dan tradisi Aceh adalah bagai dua sisi mata uang. Keduanya tak bisa dipisahkan. Oleh karenanya, bila Islam sudah menegaskan wajibnya menjaga lingkungan maka kultur Aceh-pun menyatakan hal yang sama. KeIslaman dan keAcehan kita menuntut untuk memperlakukan alam dengan sebaik-baiknya.
Tetapi apa lacur, harapan selalu membentang jarak dengan realitas. Pemandangan ironis bisa kita sasksikan di sekujur tubuh Aceh yang seksi. Mencolok sekali kita lihat penebangan hutan (legal maupun ilegal) untuk kegiatan ekspor tanpa adanya peremajaan yang memadai. Hal ini menyebabkan rusaknya tanah perbukitan sehingga memancing datangnya bencana longsor dan banjir bandang seperti yang pernah menimpa Tangse baru-baru ini. Ditambah lagi dengan maraknya kebakaran hutan. Padahal keberadaan hutan sangat berguna bagi keseimbangan hidrologik dan klimatologik, termasuk pula tempat berlindungnya binatang semacam harimau dan gajah yang bisa keluar mengganggu warga bila tempat tinggalnya dirusak
Di sisi lain, perluasan kota yang melebar turut mencaplok tanah-tanah subur pedesaan. Polis berkembang menjadi metropolis untuk kemudian –mungkin mengikuti Jabodetabek- menjadi megapolis (beberapa kota luluh jadi satu) dan ecumenopolis (negara kota). Akhirnya, salah satunya nanti menjadi necropolis (kota mayat). Dalam konteks Aceh, wacana perluasan kota Banda Aceh dan pembangunan jalan lintas Banda Aceh-Meulaboh merupakan hal penting yang harus menjadi perhatian. Pepohonan dan hutan mangrove telah menjadi korban proyek yang katanya untuk kesejahteraan manusia itu.
Sungguh sedih rasanya mengetahui bahwa Aceh memiliki pesisir pantai terpanjang di pulau Sumatera yaitu sepanjang 2.666,27 km, namun dari jumlah itu 75% kawasan mangrovenya telah rusak. Begitu juga dengan terumbu karang yang banyak hancur akibat jaring trawl. Hal ini menyebabkan kian sulitnya perekonomian para nelayan.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh bahkan menyatakan bahwa Aceh sudah berada dalam status darurat ekologis. Mereka mendesak Pemerintah Aceh untuk menetapkan status itu mengingat kerusakan lingkungan di Aceh sudah pada tahap mengkhawatirkan (Serambi, 15 Juni 2011). Berdasarkan data yang dihimpun Walhi, dalam kurun empat tahun dari 2007-2010 telah terjadi 2.850 kali bencana di Aceh. Yang paling banyak adalah kebakaran hutan 1.116 kali, banjir 679 kali, konflik satwa dengan manusia 425 kali dan abrasi 212 kali. Selain itu, pengurangan luas hutan amat sangat drastis. Angkanya mencapai 23 hektar per tahun. Awalnya hutan Aceh memiliki luas 3.316.132 ha, kini yang tersisa tinggal 3.223.635 ha lagi.
Dengan Islam, Sejahtera Tanpa Merusak
Miris sekali menatap lingkungan Aceh yang rusak. Padahal Aceh sangat kental dengan nilai Islam, namun masih saja syariat menjaga lingkungan hidup ini belum terlaksana dengan baik. Memanfaatkan alam adalah sah, namun tentu tak boleh sampai merusak. Ini adalah tanggungjawab bersama semua pihak: pemerintah, ulama, mahasiswa, LSM, perusahaan swasta dan masyarakat umum. Apalagi kita punya visi besar Aceh Green.
Penegakan syariat Islam di Aceh harus benar-benar kaffah (menyeluruh). Eksekutif dan legislatif jangan hanya sibuk dengan formalisasi hukum pidana Islam yang berkaitan dengan perkara kelamin saja. Jangan hanya mengurus pakaian perempuan sementara kantor-kantor pemerintahan digerogoti tikus berdasi. Memang betul, menjaga moral itu penting dan tak boleh dikesampingkan. Akan tetapi, menjaga lingkungan yang merupakan sumber kehidupan kita juga sama pentingnya. Dan itu semua tidak cukup hanya dengan sebuah qanun, sebab yang terpenting adalah komitmen kolektif kita. Insya Allah, dengan tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah, kita dapat mengelola kekayaan alam nanggroe endatu untuk kesejahteraan bersama tanpa merusaknya.