Minggu, 08 Januari 2012

The Lost Java

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Mystery & Thrillers
Author:Kun Geia
Melenyapkan Jawa dari Peta Dunia
Oleh: Anugrah Roby Syahputra
(Koordinator Leutika Reading Society Banda Aceh)

Novel konspirasi memang seksi. Selalu memikat. Seperti karya-karya fenomenal Dan Brown. Mulai dari Da Vinci Code hingga The Lost Symbol. Rangkaian kalimatnya menyihir pembaca untuk tak mau lepas dari awal hingga akhir. Di Indonesia, style penulisan novel semacam ini sudah dilakukan oleh beberapa pengarang seperti Rizki Ridyasmara, ES Ito, Zaynur Ridwan dan Mahardhika Zifana. Hampir semua buku-buku itu meledak di pasaran. Laris manis diserbu pembeli.
Hanya saja, kemudian sejumlah kritik bermunculan bahwa karya demikian cuma epigon. Terlihat sekali dari model penokohan dimana ada seorang simbolog atau ahli sejarah Barat ditemani seorang wanita cantik yang menjadi tokoh utama. Begitu pula konflik yang dibangun. Datar. Seorang teman mengatakan bahwa mereka tidak menulis novel. Tapi hanya copy paste teks-teks tentang teori konspirasi yang bertebaran di internet: di berbagai website, blog, forum semacaam Kaskus dan situs video Youtube. Saya bilang, mungkin juga. Pengecualian untuk Rahasia Meede dan Negara Kelima hasil goresan pena ES Ito yang revolusioner itu.
Nah, dalam novel The Lost Java terbitan Leutika Prio ini ada yang sedikit berbeda. Tokoh utama yang dibangun di sini merupakan warga negara Indonesia. Profesor-profesornya berkebangsaan Indonesia. Bahkan mereka membuat skenario luar biasa penyelamatan bumi dan mahluk hidup dari kepupnahan akibat pemanasan global. Orang-orang yang digambarkan lebih jenius dari Habibie ini mendirikan Garuda Putih Lab (GarPu Lab) yang tersembunyi di bawah tanah dan tak terlacak oleh satelit. Di situ, mereka melakukan penelitian selama 35 tahun dengan menghimpun 50 ilmuwan dari berbagai negara demi menyelesaikan sebuah formula untuk misi WAR (Warriors of Antartic).
Dalam misi WAR inilah, lima ilmuwan akhirnya berangkat menuju puncak tertinggi di Kutub Selatan yaitu Gunung Vinson Massif. Di tengah badai es yang beberapa kali mengamuk, oksigen yang semakin menipis, suhu yang mencapai -450 derajat Celcius juga avalance yang sesekali mengincar, mereka terus melaju untuk misi mulia ini. Tapi siapa sangka jika di belakang mereka sebuah organisasi rahasia sedang mengikuti mereka dari jalur yang lain untuk merebut formula. Di sinilah mulai terkuak kejahatan Zionis Internasional dengan berbagai jubah organisasinya.
Novel ini, menurut saya, betul-betul mengaduk perasaan pembaca. Meresapinya, membangkitkan rasa nasionalisme dan keimanan secara bersamaan. Kun Geia, sang penulisnya seolah kembali ingin menegaskan bahwa Zionis Internasional adalah common enemy bagi semua manusia yang masih bernurani. Dengan alur yang cepat, adrenalin kita dipacu. Ditambah lagi konflik pribadi dan keluarga yang mengiringinya dengan dendam dan romantisme membuat emosi kita diaduk-aduk.
Petualangan dr. Gia dan kawan-kawan benar-benar mendebarkan sekaligus memukau. Dua catatan saya, mungkin sebaiknya seperti novel-novel Dan Brown, penulis mencantumkan bagian mana yang merupakan fakta dan mana yang merupakan fiksi. Beserta referensinya akan lebih mantap. Sebab beratus fakta ilmiah dijejalkan di sini yang semuanya menggambarkan masa depan bumi yang di ambang kehancuran. Jika sumbernya tak disebutkan, orang hanya akan bilang bahwa ini cuma sekedar mitos atau fantasi penulis fiksi belaka.
Yang jelas, saya angkat topi untuk Kun Geia. Salut. Salam kenal. Kita adalah contact di multiply.

Ngekos Yuuk

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Nonfiction
Author:Amanda Ratih Pratiwi
Dari Ngekos ke Jalan Lain Menuju Sukses
Oleh: Anugrah Roby Syahputra
(Koordinator Leutika Reading Society Banda Aceh)

Banyak jalan menuju Roma atau Mekkah. Begitupun dengan kesuksesan, terbentang beragam jalan. Banyak trainer, motivator dan penulis telah mengungkap rahasianya. Namun melalui buku Ngekos Yuk! karya Amanda Ratih Pratiwi ini saya diyakinkan oleh penulisnya bahwa ada jalan lain yang mudah dan sederhana untuk sukses: ngekos. Ya, ini memang langkah awal. Namun bukankah langkah ke seribu tak kan ada tanpa langkah pertama? Setidaknya begitulah ajaran pepatah Cina. Memang, sejatinya buku ini adalah sejenis how to, panduan praktis untuk para koser wa bil khusus kaum muslimah (meski cowok juga dianjurkan membaca kitab ini) tapi kenyataannya buku saku ini juga berhasil memotivasi pembaca.
Mengapa ngekos bisa menjadi salah satu jalan menuju sukses? Karena dengan ngekos kita akan menjadi manusia yang punya tanggungjawab. Kita benar-benar merasakan menjadi pemimpin bagi diri sendiri. Maka kemudian sifat manja dan kekanak-kanakan perlahan-lahan akan kita tinggalkan. Lalu kita beralih menuju kedewasaan dan kemandirian. Kata si pengarang buku ini, “ Pokok’e, ngekos itu bisa menjadikan diri ini lebih dewasa sepulah tahun dari umur kita yang sebenarnya. Yakin!”
Meski awalnya ada keterpaksaan, namun benar kata pepatah yang sering saya pelintir: alah bisa karena dipaksa. Setelah dimotivasi pada bab pembuka, selanjutnya pembaca bisa mendapatkan tips-tips praktis untuk menjadi koser yang baik, gaul dan prestatif. Mulai dari tips menghemat pengeluaran, menjaga kesehatan dan kebersihan sampai cara untuk memulai wirausaha ringan buat nambah uang jajan.
Di samping itu, kita juga bisa mengulik banyak hal yang di luar dugaan kita (apabila kita masih berstatus calon koser). Tentang kisah-kasih anak kos, penyakit-penyakit khas anak kos juga mengenai bahaya-bahaya yang mungkin mengintai perantau belia ini. Siapa sangka kalau kos mahasiswa juga bisa digasak maling? Nah, kisah-kisah semacam ini akan mengajarkan kita untuk lebih waspada, sebab seperti petuah sakti dari Bang Napi karena kejahatan terjadi bukan hanya karena niat pelakunya, tapi karena ada kesempatan.
Tak cuma itu, di buku mungil ini Amanda Ratih Pratiwi –yang konon katanya sekarang sudah alumni ngekos dan menetap di Ambon- juga mengulik dunia pergaulan anak kos. Bagaimana menjalin persahabatan yang baik dengan teman satu kamar, satu kos, tetangga, ibu kos, Pak RT sampai ke warga masyarakat setempat. Kerennya lagi, kita juga diberikan pilihan-pilihan anti bokek bagi anak kos. Sejumlah pilihan wirausaha ringan yang menjanjikan ditawarkan oleh sang penulis.
Pokoknya, buku ini benar-benar lengkap. Apalagi di bagian akhir kita juga diberi jurus-jurus ampuh mengasah kreativitas agar kita betah ngekos dan nggak terjangkit homesick. Plus tips aman ketika pulang kampong. Sampai seorang teman saya, yang sudah kos menahun (baca: bertahun-tahun) pun mengacungkan jempol untuk buku ini. Berasa betul manfaatnya, katanya.
Tapi, satu yang saya rasa agak kurang dari buku ini. Ops, sebenarnya mungkin bukan kurang. Jika dibaca-baca ulang seluruh konten buku ini hanya memberi panduan bagi koser yang sedang studi alias berstatus mahasiswa. Semua sudut pandangnya untuk koser mahasiswa. Sementara dalam fakta, tidak sedikit koser yang berstatus pekerja. Dan tentunya penanganan untuk mereka sedikit berbeda. Mungkin lebih tepatnya tagline buku ini diubah menjadi Panduan Wajib Mahasiswi Koser.
Begitupun, buku ini adalah sebuah karya besar. Sebuah kontribusi yang akan sangat berarti untuk para calon koser yang kebingungan di negeri rantau. Empat jempol buat Kak Manda dan Leutika!


Kampoeng Horas

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Nonfiction
Author:LRS Medan
Membaca Kebhinekaan dan Eksotisme Alam dalam Kampoeng Horas
Oleh: Anugrah Roby Syahputra
(Koordinator LRS Chapter Banda Aceh)

Medan sudah berusia lanjut. Iapun dinobatkan sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Maka tak salah kalau kini Medan menjadi metropolitan yang riuh dengan ragam aktivitas kaum urban. Namun, belum banyak kajian, penelitian atau -lebih spesifik lagi- buku yang mengulas aneka budaya kota bestari ini. Nah, Kampoeng Horas yang ditulis oleh Evi Andriani, dkk dari Leutika Reading Society Chapter Medan ini menjadi jawabannya. Sebab ia mengungkap berbagai cerita tentang Medan dan juga provinsi yang menaunginya, Sumatera Utara.
Selama ini, publik hanya mengenal dan memahami Medan sebagai “Batak”. Yah, itu tak sepenuhnya salah. Namun juga tidak bisa dikatakan seratus persen tepat. Karena berdasarkan sejarahnya Medan memang tanah Melayu dimana dahulu Kesultanan Deli menancapkan kuku kekuasaannya. Di sisi lain, secara statistik penduduk Sumatera Utara justru persentase terbesarnya adalah masyarakat Suku Jawa. Mereka ini umumnya para transmigran yang kemudian turun-temurun menetap dan menjadikan tanah bertuah ini sebagai tanah kelahirannya. Istilahnya Pujakesuma (Putera Jawa Kelahiran Sumatera). Paguyubannya pun ada. Bernama sama pula.
Kampoeng Horas ini sesungguhnya adalah kumpulah flash fiction karya anak-anak LRS Medan. Oleh karena berbentuk flash fiction, maka jelas kisah dalam buku bersampul hijau ini seluruhnya adalah fiksi alias rekaan belaka. Namun inilah sebuah cara yang unik dan –mungkin- lebih mudah dicerna ketika kita hendak menyuguhkan keragaman budaya dan keindahan alam Medan dan Sumatera Utara. Yang kita tahu kita sedang membaca cerita fiksi superpendek yang tak sampai 300 kata, tapi sesungguhnya kita sedang membaca sejarah, budaya dan eksotisme ciptaan Tuhan. Tentu kita senang dan tak pusing. Akan berbeda halnya jika sejarah dan budaya ini kita baca dalam sebuah buku teks atau referensi yang tebalnya sudah menyaingi kamus atau ensiklopedia. Pasti akan eneg.
Di kitab ber-cover Becak Siantar dan lanskap Danau Toba, Masjid Raya serta sejumlah alat musik Karo yang didesai ciamik ini, pembaca bisa merasakan deburan air terjun Sipiso-piso, birunya danau Toba , jernihnya Aek Buru dan Aek Sijornih sampai kehangatan belerang di dekat Lau Kawar. Selain itu, objek wisata budaya dan sejarah juga dihidangkan sehingga kita bisa menjadi saksi kejayaan masa lalu peradaban Melayu yang tersebar di pesisir Sumatera Utara: mulai dari Masjid Azizi di Tanjungpura, Istana Maimun di Medan sampai menyusuri Batubara, Asahan hingga Labuhanbilik nun di perbatasan dengan Riau sana. Anda pun bisa melihat kusutnya suasana kota yang sesekali meneriakkan, “Hei, bodat!” di jalanan kota Medan. Kegelisahan anak muda yang terbentur dengan adat nenek moyangnya seperti persoalan pariban, pelangkah serta pernikahan semarga juga diurai secara dramatik. Ya, adat ini masih dipegang teguh oleh sebagian masyarakat yang kini sudah hidup di zaman modern. Meski sebagiannya jelas irasional bahkan dalam pandangan agama menjurus kepada kemusyrikan. Alasannya tentu soal ajaran warisan leluhur. Para antropolog dan sosiolog menyebutnya kearifan lokal.
Secara umum, buku ini sudah begitu cantik. Saya memberinya tiga bintang. Catatan saya, buku ini belum mengeksplorasi seluruh kekayaan yang ada di Sumut. Sebut saja Kepulauan Nias yang pada tahun 2005 lalu baru saja dihantam gempa dan tsunami. Bukankah tradisi lompat batu yang tercetak di pecahan seribu rupiah itu begitu mengesankan? Juga pantai Sorake serta desa Bawomataluwo yang indah. Satu lagi, pengucapan dialek Sumatera Utara seharusnya terjaga dalam dialog maupun deskripsi. Sayangnya, dalam tulisan berjudul “Meminang Naga” karya Ansar Husyam malah digunakan penyebutan Pasar Horas. Padahal orang-orang Pematangsiantar biasa menyebutnya “Pajak Horas”.
Namun tentunya buku ini sangat layak untuk dijadikan koleksi bagi Anda yang ingin mengenal Medan secara khusus dan Sumatera Utara secara umum. Bahkan ini bisa menjadi semacam buku panduan wisata. Sehingga nanti Anda tak akan bingung lagi ketika ada yang bertanya, “Tau ko Medan?”

Selasa, 20 September 2011

Ini Tentang Pertanyaanmu

Beberapa waktu lalu, Ukhti X, rekanku di sebuah perusahaan dulu mengirimiku sebuah pesan singkat. Isinya benar-benar singkat: "Akhi, antum sedang sibuk gak?"

Saya yang kebetulan waktu itu sedang tidak sibuk langsung saja meneleponnya. Maklum saja, ini memanfaatkan fasilitas nelpon seribu sejam oleh sebuah operator. Begitu mengucap salam dan saling bertanya kabar, dia kembali bertanya apa saya sibuk. Saya bilang tidak, lalu ada apa? Dia menjawab, "Ada yang mau ana tanya, mau minta pendapat antum, tapi via sms aja, ana agak gugup soalnya bicara ini."

Berselang beberapa menit kemudian, tibalah sms yang dijanjikan. Bunyi detailnya begini:
Gini, Akh. Akhi Y dan Z secara bersamaan ngajuin proposal ke ana. Ana yakin antum pasti nyuruh ana istikharah. Ana maunya, sebelum istikharah dengar pendapat dulu. Menurut antum, di antara mereka berdua, yang mana yang lebih baik untuk ana? Dua2nya udah kenal ana dan keluarga. Jawabnya via sms atau e-mail aja ya, Akh. Ana agak gugupan kalau bicara soal kayak gini. Oya, sebelumnya ana kemarin juga sudah dapat proposal dan hasilnya istikharahnya tidak. Tolong pertimbangkan juga soal kemungkinan fitnah, dll ya, Akh..

Wadow! Wat de....
Ini untuk ke sekian kali dimintai nasehat dan pertimbangan dari teman sebaya, adik-adik maupun mereka yang lebih tua. Seolah saya sudah begitu expert dan pengalaman. Padahal saya baru sembilan bulan menikah. Belum benar-benar merasa asam garamnya pernikahan.

Lapor komandan! Dari batalyon infantri Brawijaya bla..bla... menyampaikan ada sms masuk. Segera dibaca! Laporan selesai. 

Nada sms saya kembali merepet. Sms lanjutan dari Ukhti X masuk lagi.
Ana nanya ke antum karena antum mengenal mereka berdua dan antum sudah nikah. Oya, murabbiyah ana sudah menyerahkan sepenuhnya pada ana.

Hmm... Saya mulai memutar otak. Menimbang-nimbang. Baru dua hari setelahnya -sesudah diskusi dengan istri juga- saya mengirim jawaban padanya melalui message di facebook. Jawabannya saya buat dalams sebuah tulisan berjudul "Ini Tentang Pertanyaanmu". Begini isinya:

Ini Tentang Pertanyaanmu

Assalamu'alaikum

Ukhti X yang dimuliakanNya karena telah bertetap hati memilih jalanNya,
Menjawab pertanyaanmu itu sungguh berat. Seberat selusin karung beras membebani pundak. Sebab ini bukan remeh temeh. Sebab ini menyangkut masa depan. Kata seorang bijak, "Salah memilih pasangan hidup akan membuat kita menyesal seumur hidup." Sebab karena memang kita meniatkannya hanya sekali seumur hidup, hatta bagi seorang lelaki sekalipun akan berpikir ribuan kali untuk menikah kedua kali.

Namun, aku harus tetap menjawab pertanyaanmu. Yah, mungkin ini tak bisa menyelesaikan semua gundahmu. Tapi setidaknya aku harus memenuhi kewajiban sebagai saudara seiman. Bukankah ini adalah tolong menolong dalam kebajikan dan taqwa?

Tetapi aku harus ingatkan, bahwa meskipun aku berupaya seobjektif mungkin, tetap saja pendapat ku ini dipenuhi dengan subjektivitas. Semuanya menurutku. Sependek yang aku tahu dan alami dari pengalaman empiris membersamai mereka. Bahkan kau sebenarnya lebih mengenal mereka. Karena kau mengenal mereka sebelum aku mengenal mereka. 

Saudariku yang baik,
Begini saja. Aku akan langsung utarakan pendapatku. Menerima proposal dari dua ikhwan sekaligus adalah "kemewahan" bagi seorang akhwat. Karena di luar sana ada banyak akhwat yang sudah kelelahan menunggu. Bahkan sampai usia kepala empat. Hingga kemudian mereka "mengikhlaskan" suami mereka bukan "tempaan tarbiyah". Asalkan hanif, asalkan shalat, asalkan bisa baca Qur'an sampai di ujung klimaksnya bagi yang tak sanggup bersabar: asalkan dia muslim dan mau. Sebagian lain memilih menempuh jalan sunyi: melajang untuk sementara sembari tetap mengikhtiarkan upaya dan doa agar lekas menemukan teman bersanding di pelaminan. Jadi, pertama kali syukurilah kedua proposal itu.

Nah, sekarang mari bicara soal fitnah yang kau khawatirkan. Pernyataanmu kemarin yang mengingatkan soal ini seolah ingin mengeliminasi Akhi Y. Padahal, jikapun jadi dengan Akhi Z, bukankah peluang timbulnya fitnah tetap ada? Karena kita semua satu tim dalam organisasi XYZ. Itu sudah cukup untuk setan melakukan propaganda bejatnya: aktivis dakwah pun pacaran di balik mihrab wajihahnya. Menurutku, dalam hal ini, mereka berdua sama saja. Meskipun Y sebenarnya sudah jamak diketahui publik (yang mengenal kalian berdua) bahwa dia menaruh hati padamu.Tapi itu semua bisa dijawab. Syariat tak mengharamkan cinta pranikah. Dia fitrah yang tak boleh dibunuh, tapi ia harus dipelihara sesuai tuntunannya. Dan menikah adalah jawabannya.

Lalu, bagaimana kau harus memilih? Seperti kata hadits Nabi, lihatlah agamanya. Mereka berdua kader tarbiyah. Terbina dengan baik insya Allah. Tapi apakah rutinnya mereka ikut halaqah pekanan sudah cukup menjadi jaminan? Tentu tidak. Sebab ikhwan itu tak sesempurna Fahri, Azzam ataupun Mas Gagah. Oleh sebab itu, manfaatkanlah ta'aruf untuk lebih memahaminya. Kalau perlu, tanyakanlah pada murabbi mereka tanpa sepengetahuan mereka. Karena lembar mutabaah yaumiyah tidaklah selalu tetap. Ia fluktuatif. Cobalah, agar tak ada lagi akhwat yang kecewa setelah menikah, "Ah, aku ditipu suamiku. Subuhnya saja sering kesiangan. Dhuha dan tahajjudnya pun jarang. Konon lagi tilawah dan shaum sunnah."

Saudariku yang shalihah,
Berikutnya, lihatlah maisyahnya. Yang penting tetap bekerja, tak harus berpekerjaan tetap. Begitu kata para asatidz. Tapi ini smua adalah pilihan. Tak ada salahnya memastikan nominal penghasilan mereka dengan kebutuhan primermu. Sebab menafkahi adalah kewajiban suami. Bahkan, masak dan mencuci adalah kewajiban suami. Jika istri tetap mengerjakan hal itu, maka ia berhak untuk digaji. Begitulah para imam madzhab memfatwakan. 

Selanjutnya, kita bicara kesiapan. Sebab menikah bukan soal kemauan. Tapi kesiapan dan tanggungjawab.

Maafkan aku jika harus menyinggung Leukimia-mu. Tapi suamimu kelak sebaiknya mengetahui itu sebelum akad terjadi (baca: ketika ta'aruf) sehingga dia benar2 sudah siap dengan kondisimu ketika nanti menyampaikan lafadz mengkhitbahmu. Ini urgen. Penting, Ukhti. Supaya tak ada yang merasa tertipu, kecewa, terbebani hingga akhirnya rumahtangga hanya dipenuhi dengan pertengkaran2 yang terjadi karena ketidaksiapan kita bersama. Untuk masalah ini, kulihat dari dulu Akhi Y betul-betul sudah serius, menaruh perhatian dan menunjukkan kesiapan. Itu tampilan luarnya. Wallahu a'lam aslinya. Sedangkan Akhi Z mungkin baru2 saja dia tahu soal ini.

Oya, mungkin perlu pula kau tanya keingian keluargamu: menantu seperti apa yang mereka mau?

Saudariku, maafkan aku jika terkesan mengguruimu. Padahal ilmuku dangkal, sementara pengalamanmu melampaui pengalamanku. Memang pendapatku ini masih mengambang. Sederhananya, berdasarkan sedikit informasi yang kuketahui tentang mereka, aku cenderung menganggap Akhi Y lebih baik. Tapi kau jangan mudah percaya pada penilaianku. Manfaatkanlah ta'aruf untuk memastikan. Silakan kau memilih satu di antara mereka jika itu baik bagimu. Namun hakmu pula untuk menolak keduanya. Doaku, semoga Allah pilihkan yang terbaik untukmu. Dan semoga kau bisa seoptimal mungkin mensyukuri kemewahan ini.


Wallahu a'lamu bish-showab.
Saudaramu yang jauh,
Anugrah Roby Syahputra

Demikianlah jawaban yang saya rangkai untuknya. Saya berdoa untuk kebaikan dirinya dan ikhwan-ikhwan itu. Sampai kemudian seminggu setelahnya, sang ukhti mengirim sms kembali:

"Assalamu'alaikum. Ya akhii Roby. Syukran ya, Akh atas masukannya kemarin. Ana sudah memutuskan untuk ta'aruf dengan salah satunya, berdasarkan istikharah ana juga. Tapi mungkin itu ta'aruf terakhir ana. Kalaupun ana ta'aruf lagi, mungkin waktunya akan sangat lama dari sekarang. Ikhwannya memang bisa menerima kondisi ana. Ortunya juga, Tapi ga tau kenapa tiba2 jadi ga setuju dan ga merihoi dengan berbagai alasan. Sekali lagi, jazakallah ya Akhi.."

Deg! Saya terdiam. Cuma bisa berdo'a. Tak tahu lagi harus membantu apa.

Di tengah kesunyian ruang kerja
Banda Aceh, 20 September 2011

Sabtu, 13 Agustus 2011

Aceh dan Syariat Peduli Lingkungan

Aceh dan Syariat Peduli Lingkungan

Oleh: Anugrah Roby Syahputra

Agama samawi (monoteis) seringkali dikritik sebagai keyakinan yang kurang memiliki kepekaan terhadap alam dan lingkungan hidup. Penyebabnya, dalam ajaran agama monoteis, manusia diposisikan lebih unggul daripada alam. Manusia adalah subjek, sementara alam adalah objek yang pasif. Superioritas manusia itu ditegaskan dengan konsep imago dei (manusia sebagai citra Tuhan) dalam ajaran Kristen dan Yahudi serta konsep khalifah fil ardh dalam Islam. Doktrin inilah yang sering dijadikan legitimasi bagi manusia untuk melakukan segala bentuk tindakan terhadap alam, termasuk mengeksploitasinya tanpa batas. Akan tetapi, benarkah konsep khalifah fil ardh adalah stempel bagi kaum muslimin untuk memperlakukan alam seenak perutnya? Bagaimanakah sebenarnya Islam memandang relasi manusia dan alam?

Kewajiban Syariat Menjaga Lingkungan

Dalam kitab suci Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyampaikan banyak ayat yang menunjukkan pentingnya menjaga lingkungan hidup. Bahkan, dalam beberapa ayat lainnya Allah SWT secara terang menegaskan larangan melakukan kerusakan di muka bumi sebagaimana tercantum dalam Surat Al-Qashas ayat 77, “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Sementara dalam Surat Al Baqarah ayat 30 yang menjelaskan definisi khalifah fil ardh, para mufassir (ahli tafsir) sepakat bahwa Allah memberikan amanah untuk menjaga bumi. Artinya, ini adalah sebuah kewajiban untuk setiap orang beriman untuk mengelola lingkungan tanpa merusaknya. Kita memang membutuhkan alam untuk menyambung hidup, namun cara pemanfaatannya tentulah tidak harus berlebihan. Sebisa mungkin kita juga melakukan penyiapan Sumber Daya Alam pelanjut ketika kita mengeruk sebagian dari alam. Misalnya dengan melakukan replantasi dan reboisasi hutan.

Sahabat Nabi Abu Darda ra. menceritakan bahwa dalam suatu majelis ilmu yang diasul ooleh Rasulullah SAW, telah diajarkan tentang pentingnya bercocok tanam, menanam pohon dan urgensi mengubah lahan tandus menjadi tanah subur yang produktif. Perbuatan tersebut akan mendatangkan pahala yang besar dari sisi Allah dan bekerja memelihara lingkungan adalah termasuk ibadah kepada Allah SWT.

Dalam kesempatan lain Sang Nabi yang mulia bersabda, “Barangsiapa yang memotong pohon sidrah maka Allah akan meluruskan kepalanya tepat ke dalam neraka.” (HR. Abu Daud, dalam Sunan-nya). Riwayat lain oleh Muslim menjelaskan bahwa Rasulullah juga pernah mengancam bahwa barangsiapa yang membunuh burung pipit atau binatang lain yang lebih besar daripadanya tanpa ada kepentingan yang jelas, maka kelak Allah akan memintai pertanggungjawabannnya. Ini sebuah seruan dari lisan Al Amin agar melakukan penghijauan dan melestarikan kekayaan hayati dan hewani.

Semua perintah dan larangan ini sesungguhnya ditujukan agar terciptanya keseimbangan ekosistem. Sebab lingkungan hidup adalah suatu kesatuan integral antara semua benda, daya, keadaan dan mahluk hidup termasuk manusia. Jika manusia berperilaku merusak, maka ekosistem akan menjadi labil dan mengancam kelangsungan hidup setiap komponen di dalamnya. Itulah sebabnya ajaran ini sebenarnya sangat humanis, peduli terhadap manusia namun juga tak melupakan alam untuk dijaga. Jadi, Islam adalah agama yang ramah lingkungan dan mewajibkan merawatnya dengan seafdhal-afdhal cara. Keliru besar orang yang menjadikan Islam sebagai cap untuk membenarkan tindakannya mengeksploitasi alam.

Aceh dan Lingkungan yang Tercancam

Aceh dikenal sebagai tanah serambi mekkah. Kehidupannya kental dengan nuansa Islam yang damai. Sejak dahulu, rakyat Aceh sudah memegang teguh Islam sebagai pegangan hidup. Sebuah hadih maja yang terkenal mengatakan bahwa agama ngon adat lagee zat ngon sifeut. Ajaran Islam dan tradisi Aceh adalah bagai dua sisi mata uang. Keduanya tak bisa dipisahkan. Oleh karenanya, bila Islam sudah menegaskan wajibnya menjaga lingkungan maka kultur Aceh-pun menyatakan hal yang sama. KeIslaman dan keAcehan kita menuntut untuk memperlakukan alam dengan sebaik-baiknya.

Tetapi apa lacur, harapan selalu membentang jarak dengan realitas. Pemandangan ironis bisa kita sasksikan di sekujur tubuh Aceh yang seksi. Mencolok sekali kita lihat penebangan hutan (legal maupun ilegal) untuk kegiatan ekspor tanpa adanya peremajaan yang memadai. Hal ini menyebabkan rusaknya tanah perbukitan sehingga memancing datangnya bencana longsor dan banjir bandang seperti yang pernah menimpa Tangse baru-baru ini. Ditambah lagi dengan maraknya kebakaran hutan. Padahal keberadaan hutan sangat berguna bagi keseimbangan hidrologik dan klimatologik, termasuk pula tempat berlindungnya binatang semacam harimau dan gajah yang bisa keluar mengganggu warga bila tempat tinggalnya dirusak

Di sisi lain, perluasan kota yang melebar turut mencaplok tanah-tanah subur pedesaan. Polis berkembang menjadi metropolis untuk kemudian –mungkin mengikuti Jabodetabek- menjadi megapolis (beberapa kota luluh jadi satu) dan ecumenopolis (negara kota). Akhirnya, salah satunya nanti menjadi necropolis (kota mayat). Dalam konteks Aceh, wacana perluasan kota Banda Aceh dan pembangunan jalan lintas Banda Aceh-Meulaboh merupakan hal penting yang harus menjadi perhatian. Pepohonan dan hutan mangrove telah menjadi korban proyek yang katanya untuk kesejahteraan manusia itu.

Sungguh sedih rasanya mengetahui bahwa Aceh memiliki pesisir pantai terpanjang di pulau Sumatera yaitu sepanjang 2.666,27 km, namun dari jumlah itu 75% kawasan mangrovenya telah rusak. Begitu juga dengan terumbu karang yang banyak hancur akibat jaring trawl. Hal ini menyebabkan kian sulitnya perekonomian para nelayan.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh bahkan menyatakan bahwa Aceh sudah berada dalam status darurat ekologis. Mereka mendesak Pemerintah Aceh untuk menetapkan status itu mengingat kerusakan lingkungan di Aceh sudah pada tahap mengkhawatirkan (Serambi, 15 Juni 2011). Berdasarkan data yang dihimpun Walhi, dalam kurun empat tahun dari 2007-2010 telah terjadi 2.850 kali bencana di Aceh. Yang paling banyak adalah kebakaran hutan 1.116 kali, banjir 679 kali, konflik satwa dengan manusia 425 kali dan abrasi 212 kali. Selain itu, pengurangan luas hutan amat sangat drastis. Angkanya mencapai 23 hektar per tahun. Awalnya hutan Aceh memiliki luas 3.316.132 ha, kini yang tersisa tinggal 3.223.635 ha lagi.

Dengan Islam, Sejahtera Tanpa Merusak

Miris sekali menatap lingkungan Aceh yang rusak. Padahal Aceh sangat kental dengan nilai Islam, namun masih saja syariat menjaga lingkungan hidup ini belum terlaksana dengan baik. Memanfaatkan alam adalah sah, namun tentu tak boleh sampai merusak. Ini adalah tanggungjawab bersama semua pihak: pemerintah, ulama, mahasiswa, LSM, perusahaan swasta dan masyarakat umum. Apalagi kita punya visi besar Aceh Green.

Penegakan syariat Islam di Aceh harus benar-benar kaffah (menyeluruh). Eksekutif dan legislatif jangan hanya sibuk dengan formalisasi hukum pidana Islam yang berkaitan dengan perkara kelamin saja. Jangan hanya mengurus pakaian perempuan sementara kantor-kantor pemerintahan digerogoti tikus berdasi. Memang betul, menjaga moral itu penting dan tak boleh dikesampingkan. Akan tetapi, menjaga lingkungan yang merupakan sumber kehidupan kita juga sama pentingnya. Dan itu semua tidak cukup hanya dengan sebuah qanun, sebab yang terpenting adalah komitmen kolektif kita. Insya Allah, dengan tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah, kita dapat mengelola kekayaan alam nanggroe endatu untuk kesejahteraan bersama tanpa merusaknya.